Studi: Perubahan Iklim Membuat Penduduk Dunia Makin Gampang Stres
Dampak perubahan iklim alias climate change tidak boleh lagi disepelekan. Selain mengacaukan pergantian musim yang akhirnya berdampak pada sektor pertanian dan ketahanan pangan, perubahan iklim juga berpengaruh negatif pada kesehatan fisik dan mental setiap manusia yang menghuni bumi.
Ya! Tidak dapat dipungkiri sesungguhnya kesehatan kita ikut dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitar juga. Nah menurut American Psychological Association, perubahan iklim ekstrem yang telah terjadi belakangan ini secara merata di seluruh belahan dunia mengakibatkan orang-orang lebih rentan stres. Kenapa?
Cepat stres jadi dampak perubahan iklim yg tidak disadari
Perhatikan tidak, cuaca di Indonesia belakangan ini sangat kacau? Yang seharusnya sudah mulai musim hujan tapi malah kemarau berkepanjangan, atau sebaliknya. Sekalinya cuaca panas, teriknya menyengat minta ampun sementara kalau {{turun}} hujan bisa sangat deras dan berangin sampai memporak poranda sekitar.
Nah, ternyata sudah banyak kajia penelitian mancanegara yang berhasil mengaitkan hubungan antara perubahan cuaca dengan kestabilan suasana hati. Suhu dan tekanan udara, kecepatan angin, terik sinar matahari, curah hujan, serta lama jalannya hari adalah beberapa faktor lingkungan yang tanpa disadari ikut “mengatur” suasana hati Kamu.
Pakar kesehatan berasumsi sesungguhnya hal ini berkaitan dengan reaksi psikologis seseorang. Contohnya saja, cuaca panas yang terbukti bikin Anda mudah emosian. Cuaca terlalu panas mengakibatkan denyut jantung meningkat sekaligus meningkatkan produksi hormon stres yang pada akhirnya memicu reaksi metabolik {untuk} mengaktifkan respon fight-or-flight. Reaksi ini membuat seseorang jadi lebih agresif demi berusaha melawan sensasi tidak nyaman tersebut.
Norman B. Anderson, PhD, pendiri American Psychological Association mengatakan sesungguhnya dampak perubahan iklim ini akan sangat berasa dalam aspek kehidupan sehari-hari. Dalam sebuah kajia penelitian yang diterbitkan dalam laman Science, peneliti melaporkan saat suhu meningkat drastis, frekuensi kasus kriminalitas pada orang lain meningkat sebesar 4% dan konflik kekerasan antar kelompok seperti penjarahan dan tawuran melonjak sampai 14 persen.
Musim hujan dan banjir picu depresi
Sebaliknya saat cuaca dingin atau musim hujan, hanya ada sedikit sinar matahari dan suhu lingkungan {{turun}} drastis yang pada akhirnya kadar serotonin dalam {{tubuh}} Kamu akan {{turun}}. Saat kadar serotonin menurun, maka Kamu akan lebih mudah merasa galau dan murung.
Selain itu, cuaca yang serba lembap membuat {{tubuh}} Kamu cepat lemas dan menurunkan konsentrasi yang pada akhirnya menumpulkan minat Kamu {untuk} melakukan apa pun.
Pada orang-orang tertentu yang berisiko depresi, musim hujan berkepanjangan bisa memicu gejala seasonal affective disorder (SAD) atau gangguan suasana hati musiman. SAD adalah jenis depresi ringan yang terkait dengan perubahan musim.
Bencana alam akibat perubahan iklim juga picu trauma
Kejadian bencana alam yang makin marak beberapa tahun ini juga menjadi dampak dari perubahan iklim yang tanpa disadari ikut memengaruhi kestabilan mental orang-orang di dunia. Baik itu mereka yang selamat dan menjadi penyintas atau yang cuma menyaksikannya dari berita.
Berita bencana alam, entah banjir bandang, badai, tanah longsor, gempa bumi, sampai bahkan kekeringan tak ayal membuat masyarakat jadi gampang panik dan cemas akibat takut mengalaminya. Beberapa bencana alam juga mengharuskan sebagian orang {untuk} pindah rumah demi menghindari risiko bahaya.
Kecemasan, kepanikan, dan ketakutan yang terus menghantui diri lama kelamaan dapat mengganggu kestabilan psikologis seseorang, yang bukan mustahil dapat memicu munculnya gejala penyakit kejiwaan seperti depresi atau gangguan kecemasan (ansietas).
Sementara khususnya bagi para penyintas, bencana alam yang mereka lalui dapat mengakibatkan stres pasca trauma alias PTSD. Ini lantaran mereka dipaksa bertahan hidup di situasi ekstrem, contohnya tinggal bersama ratusan orang lainnya di tempat evakuasi, terpisah dari sanak saudara, kelaparan dan kedinginan, sampai bahkan akibat mengidap penyakit terkait bencana. Misalnya seperti demam berdarah, diare, dan demam tifoid yang jadi langganan saat musim banjir. Belum lagi ditambah trauma fisik dan kehilangan orang-orang terdekat yang juga mesti mereka hadapi.
Sejumlah studi bahkan melaporkan terdapat peningkatan kejadian {{bunuh}} diri yang cukup drastis, baik selama musim dingin ekstrem dan musim panas ekstrem.
Lalu, apa yang dapat kita lakukan?
Dampak perubahan iklim bisa diperlambat, dicegah, atau bahkan dihentikan sama sekali dengan cara yang tepat. Cobalah {untuk} mulai merawat lingkungan dari hal yang kecil. Misalnya dengan tidak buang sampah sembarangan di selokan atau sungai, tidak membakar sampah di pekarangan, dan mengurangi pemakaian kendaraan bermotor yang polusinya bisa merusak lingkungan.
Selain itu, dosen psikologi dari College of Wooster Susan Clayton, PhD, bersama seorang dosen ilmu lingkungan Christie Manning, PhD, serta peneliti asal America, Caroline Hodge, menyarankan supaya Kamu dan masyarakat sekitar {untuk} lebih kompak dan tangguh demi memperkuat kerja sama {untuk} bahu membahu menanggulangi risiko masalah mental akibat dampak perubahan iklim.