Meluruskan 5 Mitos Sesat Tentang Kekerasan Seksual yang Masih Dipercaya Khalayak
Jika diperhatikan, kebanyakan kasus kekerasan seksual lebih sering dialami oleh perempuan ketimbang laki-laki. Memang, mengutip data Komnas Perempuan, rata-rata ada sekitar 35 perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual setiap hari di Indonesia. Akan tetapi, bukan berarti pria mustahil mengalaminya. Banyaknya mitos kekerasan seksual yang merajalela di masyarakat kita perlu diberantas habis akibat sangat merugikan korbannya. Apa saja mitos kekerasan seksual yang perlu diluruskan?
Beragam mitos kekerasan seksual yang perlu diberantas
Hal inilah yang menyebabkan korban merasa malu dan cenderung menyalahkan diri sendiri. Akibatnya, korban mengalami trauma mendalam, depresi, sampai berkeinginan untuk {bunuh} diri.
Maka itu, yuk akhiri beragam mitos kekerasan seksual berikut ini dengan mengetahui fakta sebenarnya
1. Korban selalu berpakaian minim atau seksi
Pakaian yang dikenakan korban {umum} dijadikan sebab untuk melumrahkan kejadian nahas tersebut. “Ya pantas saja dia diperkosa, wong bajunya saja seksi begitu!” Pernah dengar, kan, komentar nyinyir seperti ini?
Tak langka pula komentar memojokkan tentang pakaian korban dipergunakan oleh aparat penegak hukum saat memproses kasus kekerasan seksual.
Orang-orang masih berpikir sesungguhnya pakaian seksi sama dengan undangan seks gratis, “Pakaiannya, sih, terbuka, ngundang nafsu saja!”. Argumen ini malah makin menegaskan pendapat kolot sesungguhnya perempuanlah yang harusnya disalahkan untuk “nasib” mereka sendiri.
Padahal, segala bentuk pelecehan dan kekerasan seksual terjadi atas kebejatan pelaku itu sendiri. Pakaian bukanlah faktor penentu. Tindakan tersebut adalah salah si pelaku. Memakai pakaian yang nyaman dan tertutup tidak serta-merta menjamin sesungguhnya Kamu lebih aman dari tindak kekerasan seksual.
2. Pria tidak mungkin jadi korban
Kekerasan seksual memang lebih banyak terjadi pada perempuan dan dilakukan oleh pria. Itu kenapa Kamu mungkin menganggap sesungguhnya tidak mungkin kedua peran ini ditukar. Akan tetapi kenyataannya ada pria-pria di luaran sana yang jadi korbannya.
Anggapan sesungguhnya pria tidak mungkin dan tidak bisa menjadi korban kekerasan seksual itu bahaya! Mitos ini bisa membuat mereka yang benar-benar pernah mengalaminya enggan mencari bantuan akibat takut dikira lemah sampai akhirnya menjadi trauma permanen.
Perlu diluruskan lagi sesungguhnya pria dan wanita sama-sama bisa menjadi pelaku atau korban. Wanita mungkin saja jadi pelaku kekerasan seksual yang menargetkan pria, atau terjadi antar pria.
Faktor yang mendorong seseorang untuk berbuat kejahatan tidaklah didasari oleh gender alias jenis kelamin.
3. Pemerkosaan tidak mungkin terjadi dalam perkawinan
Berhubungan intim antara suami istri merupakan hal yang wajar. Akibatnya banyak orang menganggap sesungguhnya kalau sudah menikah, seks tentu dilakukan atas dasar suka sama suka.
Eits, {tunggu} {dulu}. Mitos kekerasan seksual yang satu ini perlu diluruskan. Meskipun masih asing di telinga, pemerkosaan dalam perkawinan mungkin saja terjadi. Berhubungan intim akibat paksaan atau ancaman, meskipun dengan pasangan sendiri, sama saja dengan tindak perkosaan.
Pada dasarnya, seks harus disetujui oleh suami dan istri. Tidak seorang pun berhak memaksa atau mengancam untuk berhubungan seks jika ada salah satu yang menolaknya. Ingat, suami atau istri Kamu bukanlah objek pemuasan seksual yang dapat Kamu kuasai kapan pun.
4. Korban tidak melawan akibat memang mau
Masyarakat menganggap sesungguhnya sikap korban yg tidak melawan menunjukkan sesungguhnya korban cenderung menikmati dan mau berhubungan intim dengan pelaku. Ya, pelaku dan korban dianggap melakukannya atas dasar suka sama suka.
Padahal, ini termasuk sebuah mitos kekerasan seksual yang harus Kamu buang jauh-jauh mulai saat ini. Setiap orang memiliki respon yang berbeda-beda saat menerima kekerasan seksual. Ada yang berani melawan, ada yang justru memilih diam akibat takut disakiti pelaku.
Sikap korban yg tidak melawan bukan berarti mereka menginginkannya. Ini justru menandakan sesungguhnya korban diliputi rasa takut. Apalagi kalau korban diancam dengan senjata tajam. Maka tidak heran kalau kebanyakan korban pemerkosaan tidak melawan dan lebih memilih untuk diam.
Kondisi ini disebut dengan inhibisi tonik, yaitu respon fisiologis {tubuh} yang menyebabkan seseorang mengalami kelumpuhan fisik sementara yang pada akhirnya tidak bisa bergerak atau melawan saat merasa takut atau terancam. Hal ini jugalah yang menyebabkan korban kekerasan seksual rentan mengalami trauma PTSD dan depresi berat dalam sebagian bulan mendatang.
5. Pelakunya pasti orang asing
Banyak orang yang menganggap sesungguhnya pelaku perkosaan atau kekerasan seksual sudah pasti orang asing alias orang yg tidak dikenal sama sekali. Akibat itulah, banyak kasus kekerasan seksual yang telah terjadi di jalan yang sepi dan biasanya saat malam hari.
Lagi-lagi, siapa pun bisa melakukan tindakan kekerasan seksual. Begitu juga dengan kerabat terdekat yg tidak pernah Kamu duga sebelumnya.
Dikutip dari BBC Indonesia, Ketua Subkomisi Partisipasi Masyarakat Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin menyebutkan sesungguhnya lebih dari 60 persen kasus kekerasan seksual terjadi di lingkungan rumah dengan pelaku ayah, paman, kakak, atau suami korban sendiri.