3 Masalah Seksual yang Sering Dihadapi Penyandang Disabilitas
Tidak hanya hak kesehatan dan hak pendidikan saja, setiap orang juga berhak mendapatkan hak kesehatan reproduksi dan seksual yang baik serta aman. Ini artinya, para penyandang cacat pun berhak atas hak-hak tersebut. Akan tetapi sayangnya, banyak orang menganggap sesungguhnya penyandang disabilitas tidak mengalami aktivitas seksual yang serupa seperti orang normal. Akibatnya, para penyandang cacat sering kali dihantui oleh berbagai masalah seksual dalam hidupnya.
Masalah seksual yang sering mengintai penyandang cacat
Menurut WHO, ada beberapa masalah seksual dan kesehatan reproduksi yang dihadapi oleh penyandang cacat, yaitu:
1. Sering dipaksa melakukan hal yg tidak diinginkan
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan sesungguhnya orang yang punya keterbatasan fisik sering kali mendapatkan paksaan {untuk} melakukan hal-hal yg tidak mereka inginkan atau sadari. Contohnya saja, mereka tidak boleh berpacaran atau menikah dengan orang yang mereka sukai atau bahkan dipaksa menikah oleh keluarganya.
Padahal, semestinya pernikahan terjadi atas dasar suka sama suka alias kesepakatan kedua belah pihak. Akibat dianggap merepotkan, mereka sering kali mendapatkan perlakuan yg tidak diinginkan. Contohnya dijadikan pembantu, korban pemerkosaan dalam perkawinan, dan pelecehan seksual lainnya.
2. Berisiko menjadi korban pelecehan seksual
Masih menurut WHO, para penyandang cacat berisiko 3 kali lebih besar mengalami pelecehan seksual, dibandingkan orang normal. Akan tetapi sayangnya, kasus pelecehan seksual pada penyandang cacat sering kali dianggap sebagai masalah yang sepele. Bahkan lebih parahnya lagi, kejadian ini sering diabaikan dan dianggap aib oleh keluarganya sendiri.
Kondisi fisik yg tidak normal sering kali digunakan oleh para pelaku pelecehan seksual {untuk} melakukan hal-hal yg tidak senonoh pada korban. Hal ini pun dapat dilakukan oleh orang-orang terdekat, entah itu teman sekolah, tetangga, atau bahkan orang yang hidup serumah dengannya.
Dibalik keterbatasannya, para penyandang disabilitas jenis apa pun perlu mendapatkan perlindungan, khususnya dari keluarga dan orang-orang di sekitarnya. Secara bertahap, berikan pemahaman mengenai cara merawat organ intimnya dengan benar, bagian {{tubuh}} mana yang boleh dan tidak boleh disentuh orang lain, dan hal-hal penting lainnya seputar alat reproduksi.
Menurut Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Derah Istimewa Yogyakarta, hal ini dilakukan {untuk} menangkal berbagai tindak kekerasan dan pelecehan seksual pada penyandang disabilitas.
3. Kesulitan mengakses layanan kesehatan reproduksi
Dikutip dari laman resmi Universitas Gadjah Mada, hak-hak reproduksi penyandang cacat dinilai kurang diperhatikan. Sampai kali ini, mereka masih sering kesulitan mengakses materi-materi yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi.
Sebuah penyebabnya adalah kurangnya kemampuan para petugas kesehatan dalam berkomunikasi dengan para penyandang cacat. Terlebih bagi mereka yang berkebutuhan khusus (tunagrahita) atau mempunyai gangguan pendengaran (tunarungu) yang membutuhkan juru bahasa isyarat.
Kalaupun materi kesehatan reproduksinya ada, terkadang para penyandang cacat masih sulit memahaminya. Misalnya, tidak ada {{buku}} kesehatan reproduksi dalam versi huruf braille, juru bahasa isyarat yang kesulitan menjelaskan soal kesehatan reproduksi, layanan kesehatan reproduksi yang aksesnya sulit dijangkau oleh para penyandang cacat, dan sebagainya.
Akibatnya, timbullah diskriminasi hak-hak reproduksi yang seharusnya bisa didapatkan oleh mereka. Masalah seksual yang satu ini memang kompleks, yang pada akhirnya dibutuhkan perhatian dari semua pihak {untuk} mengatasinya.
Jika Kamu mempunyai anak yang punya keterbatasan, sebaiknya berikan pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi sedini mungkin, setidaknya mulai usia 8-9 tahun. Contohnya soal kapan anak menstruasi pertama kali, ciri-ciri pubertas pada anak laki-laki, bagian {{tubuh}} yang boleh dan tidak boleh disentuh orang lain, dan sebagainya.